Contoh Kasus Koperasi 1
Kabupaten KarangAsem adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali. Kabupaten ini masih tergolong kabupaten tertinggal dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dan kondisi perekonomian daerah yang relatif ‘morat-marit’. Data dari Pemda Karangasem menyebutkan pendapatan per kapita masyarakat hanya sekitar Rp 6 juta per tahun.
Pada tahun 2006 lalu, di kabupaten ini lahirlah sebuah koperasi dengan nama Koperasi KarangAsem Membangun (KKM). KKM ini dalam operasinya mengusung beberapa nama ‘besar’ di daerah tersebut. Pengurus KKM, misalnya, diketuai oleh Direktur Utama PDAM Karangasem, I Gede Putu Kertia, sehingga banyak anggota masyarakat yang tidak meragukan kredibilitas koperasi tersebut. Dengan bekal kredibilitas tersebut, KKM tersebut mampu menarik nasabah dari golongan pejabat dan masyarakat berpendidikan tinggi.
KKM sebenarnya bergerak pada beberapa bidang usaha, antara lain simpan pinjam, toko dan capital investment (website KKM di http://www.kkm.balipromotion.net/). Salah satu layanan KKM yang menjadi ‘primadona’ adalah Capital Investment (Investasi Modal). Layanan Capital Investment yang dikelola oleh KKM menjanjikan tingkat pengembalian investasi sebesar 150% setelah tiga bulan menanamkan modal.
Dengan kondisi sosial dimana mayoritas masyarakat tergolong ekonomi kurang mampu dan juga pendidikan yang relatif rendah, iming-iming keuntungan sebesar itu tentunya sangat menggiurkan. Lucunya, ada juga beberapa anggota DPRD Kabupaten Karangasem yang ikut ‘berinvestasi’ di KKM, bahkan ada yang sampai menanamkan modal sebesar Rp.400 juta. Konyolnya, walaupun KKM menawarkan produk investasi, koperasi tersebut sama sekali tidak mengantongi ijin dari Bapepam. Pada kenyataannya, sebenarnya layanan Investment Capital tersebut adalah penipuan model piramida uang. Sebagian nasabah yang masuk duluan, memang berhasil mendapatkan kembali uangnya sekaligus dengan ‘keuntungannya’.
Seorang pemodal misalnya, memberikan testimoni bahwa hanya dengan bermodalkan Rp 500 ribu, dalam waktu 3 bulan ia mendapatkan hasil Rp.1,5 juta. Dengan iming-iming 150% tersebut, antara November 2007 hingga 20 Februari 2009, KKM berhasil menjaring 72.000 nasabah dengan nilai total simpanan Rp.700 milyar. Secara akal sehat, tentunya sangat tidak masuk akal bahwa produk investasi KKM bisa menawarkan keuntungan yang begitu tinggi (150% per tiga bulan alias 600% per tahun). Perlu diingat, return 150% hanya untuk nasabah saja, belum termasuk biaya operasional dan margin bagi KKM. Artinya, KKM harus menginvestasikan modal nasabah dengan return di atas angka 150% tersebut dalam waktu tiga bulan, agar skema capital investment tidak ambruk. Ini tentunya boleh dikatakan mustahil bisa bertahan lama.
Beruntung Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg cepat bertindak, dengan meminta kepolisian segera menutup bisnis investasi ala KKM tersebut. Hasil penyitaan asset, hanya berhasil menyita asset senilai Rp.321 milyar atau hanya separuh dari simpanan total nasabah Rp.700 milyar. Lebih dari Rp.400 milyar uang nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya, tindakan Bupati Karangasem, justru ditentang oleh para nasabah. Ironis sekali, mereka tidak merasa tertipu dan menganggap Bupati Karangasem melakukan fitnah sehingga pengurus KKM ditangkap polisi. Nasabah malah meminta pengurus KKM dibebaskan, agar dana mereka yang telah disetorkan dapat dikembalikan.
Perilaku nasabah KKM, bisa dikatakan mirip-mirip dengan member InterMetro Fund dan Bisnis5Milyar.com yang pernah diangkat di blog JanganSerakah. Mereka tidak mau mempelajari skema investasi yang dijanjikan dan hanya terfokus pada return yang menarik. Nasabah KKM juga mengabaikan fakta bahwa skema capital investment ala KKM tidak mendapatkan ijin, baik dari Bank Indonesia atau Bapepam. Tuntutan nasabah KKM agar Pemerintah mengganti uang yang disetorkan ke KKM juga sulit untuk direalisasikan, karena investasi murni keputusan nasabah dan kondisi fiskal pemerintah tidak memungkinkan bailout.
Dengan latar belakang pendidikan rendah, mungkin nasabah KKM tidak mengenal nama Ponzi atau Madoff, tapi paling tidak seharusnya mereka bisa menggunakan akal sehat agar investasi tersebut tidak hilang sia-sia. Penegakan hukum oleh kepolisian dan Bupati Karangasem mungkin agak terlambat, tapi hal itu harus dilakukan agar tidak semakin banyak calon-calon nasabah yang dirugikan. Kasus Koperasi ini meskipun merupakan sebuah pengalaman pahit, namun bisa menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat dan pemerintah.
Dan sebaiknya, di setiap wilayah baik yang terpencil maupun wilayah besar diberikan penyuluhan mengenai pengertian dan bagaimana tujuan koperasi itu seharusnya didirikan. Agar para warga tidak terjerumus lagi kedalam masalah koperasi. Dan setiap koperasi yang didirikan seharusnya menunjukkan izin pendirian koperasi dari pihak yang berwenang.
Contoh Kasus Koperasi 2
Amankah aset koperasi diatas-namakan pribadi ?
Uang tidak kenal saudara, negara maupun agama, Uang adalah netral, tergantung pihak mana yang akan menggunakan, bisa untuk niat baik dan jahat. Oleh karena itu sengketa uang atau harta dapat terjadi dimana saja, termasuk di Credit Union (CU). Koperasi khususnya CU yang awal berdirinya pada umumnya dipelopori oleh beberapa keluarga, (belum berbadan hukum) dan setelah tumbuh berkembang menjadi besar kemudian memproklamirkan diri menjadi suatu koperasi yang berbadan hukum secara resmi dan diakui oleh pemerintah. Dalam pengelolaan aset-asetnya mungkin saja masih kurang memperhatikan aspek legalitas khususnya atas tanah dan bangunan yang secara faktual dan finansial milik koperasi dan telah dicatat dalam laporan keuangan (neraca) yang bersangkutan.
Namun jika diperiksa secara seksama baik oleh auditor independen maupun pengawas ternyata, tanah bangunan tersebut masih diatas-namakan oleh salah seorang pengurus ataupun manajemen koperasi tsb. Mungkin saja, pertimbangan awalnya hanya demi kepraktisan dan keekonomisan saja, misalnya agar sertifikat masih tetap HM (hak milik) tidak berubah menjadi HGB (Hak Guna Bangunan), kalau suatu saat menjual mudah dan harga tetap tinggi. Tidak ada niatan untuk mengelabui pajak ataupun untuk penyelundupan aset koperasi. Hal tersebut jauh dari niat buruk para pendiri koperasi, karena ide awal pembentukan koperasi didorong semangat kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan para anggota.
Namun demikian semakin besar koperasi, dan sifatnya yang terbuka, sehingga anggota mencapai ribuan orang dan diantara mereka tidak saling kenal secara pribadi, maka semangat kekeluargaan yang tersisa saat ini tidak sekuat semangat kekeluargaan dulu dikala koperasi masih anggotanya sedikit, yang mungkin saja hanya terbatas pada anggota keluarga ataupun kerabat para pendiri. Oleh karena itu, perlu dibenahi aspek legalitas atas aset-aset koperasi baik aktiva tetap (tanah) maupun aset likuid seperti tabungan di Bank yang masih atas nama salah seorang pengurus ataupun manajemen. Menurut buku ”Bank Kaum Miskin” yang dikarang Muhammad Yunus, yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, antara lain disebutkan bahwa jumlah Credit Uniun (CU) seluruh Indonesia sebanyak 1.011, dengan jumlah anggota 668.346 orang, dan kekayaan sebesar Rp 2.304.181.285.362,-. (Buletin Koperasi Kredit, September 2006, hal 46). Diantara 1.011 buah CU, apakah sudah berbadan hukum semuanya? Jika sudah berbadan hukum, apakah CU tersebut sudah melakukan perbuatan hukum? Apakah aset-aset koperasi baik aset likuid seperti tabungan/ giro di Bank, ataupun aktiva tetap seperti kantor, ataupun wisma pendidikan dll milik CU sudah diatas-namakan Koperasi tersebut ataukah masih atas nama pendiri/ketua pengurus/ manajer? Jika belum, maka coba kita renungkan bersama, apakah hal tsb tidak menimbulkan bom waktu, yang setiap saat bisa meledak?
Barangkali, pada generasi pertama, para pendiri CU masih aktif di kepengurusan ataupun manajemen tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana dengan generasi kedua ataupun ketiga, dimana mereka tidak merasakan lagi ”kekeluargaan” sebagaimana para pendiri? Belajar dari kasus yang terjadi di Pikiran Rakyat (PR) tersebut, ternyata perusahaan ”kedamaian” hanya berlangsung sebentar, yaitu terjadi disaat para pendiri masih pegang peranan aktif. PR yang telah berbadan hukum, yang telah berkembang secara baik dan menjadi kebanggaan bumu parahiyangan, melupakan aspek hukum, badan hukum fungsinya di-kebiri, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana mestinya, karena masih pinjam nama pemegang saham/ manajemen untuk aset-aset yang dimilikinya.
Dengan membaca kasus diatas, alangkah baiknya bagi para pendiri, pengurus dan pengelola koperasi kredit untuk melakukan langkah aktif membenahi kepemilikan aset koperasi sehingga tidak membebani generasi mendatang dengan warisan yang rumit, yaitu kemungkinan adanya suatu gugatan hukum yang dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai niat tidak sejalan dengan para pendiri koperasi sebelumnya. Khususnya bagi para pengawas ataupun auditor independent (Puskopdit) yang mengaudit koperasi kredit untuk tidak jemu-jemu mencantumkan temuan aspek legalitas ini, agar pengurus memperhatikan dan memperbaiki kondisi yang berisiko tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Nama : Olivia Udhiyyah
BalasHapusNPM : 24209560
Kelas : 2eb13 (Kampus J3)